Mantan wakil Presiden Irak yang saat ini dalam pelarian, Tareq al-Hashemi, saat meninggalkan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Turki, Ahmet Davutoglu di Ankara, 9 September 2012. (REUTERS/Umit Bektas)
Tuduhan terhadap dirinya memicu krisis politik di Irak. Hashemi menolak mengomentari putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman mati baginya, selama pembicaraan dengan Menlu Turki Ahmet Davutoglu di Ankara, menurut kantor berita Associated Press. Pria berusia 70 tahun ini mengatakan bahwa hanya ia akan segera ‘mengatasi masalah ini dalam sebuah pernyataan’. Politisi Sunni lainnya telah mengecam Perdana Menteri Syiah, Nouri al-Maliki yang mengeluarkan surat perintah untuk Hashemi, sebagai seorang diktator, menuduhnya sengaja membuat provokasi yang beresiko membuat negara tersebut kembali terjun ke konflik sektarian.
Para wartawan di Irak mengatakan bahwa pemerintah koalisi Sunni, Syiah dan sekuler berada dalam bahaya sejak itu. Pemerintah Irak mengeluarkan surat perintah penangkapan Hashemi pada tanggal 19 Desember 2011, sehari setelah tentara terakhir AS meninggalkan negara itu. Dia kemudian melarikan diri ke Qatar dan kemudian ke Turki. Jaksa mengatakan Hashemi terlibat dalam 150 pembunuhan. Selama persidangan in absentia di Baghdad, beberapa mantan pengawal mengatakan Hashemi telah memerintahkan pembunuhan. Ia mengatakan tuduhan terhadap dirinya bermotif politik dan menuduh Maliki memicu sektarianisme.
Pada hari Minggu (09/09), sebuah pengadilan Irak memeutuskan Hashemi dan anak menantunya bersalah atas dua pembunuhan dan menjatuhkan hukuman gantung. Meskipun kekerasan telah menurun sejak puncaknya pada 2006 dan 2007, serangan telah kembali meningkat setelah penarikan pasukan AS dari Irak pada akhir tahun lalu, di tengah meningkatnya ketegangan politik dan sektarian. Pemerintah Irak mengungkapkan bahwa Juli 2012 adalah bulan paling mematikan dalam waktu dua tahun terakhir, dengan 325 orang tewas di seluruh negeri tersebut.
Source
0 komentar:
Posting Komentar