Rabeder sebenarnya bertumbuh dalam keluarga miskin Austria yang menjadi pemicu untuk bekerja keras dan mencari materi sebanyak mungkin agar terlepas dari kesulitan ekonomi. Pada sebuah wawancara, ia mengakui pada awalnya uang adalah segalanya. Uang yang memungkinkan ia bisa melanjutkan kuliah orang tuanya tak sanggup membiayai sekolahnya, singkatnya uang satu-satunya cara mencapai kebebasan. Mimpi menjadi konglomerat akhirnya tercapai. Ia memiliki vila indah di Alpine, dengan mudah mengendarai Audi A8, berwisata keliling dunia kemana pun ia mau. Namun, belakangan ia terus mendengar suara yang menyuruhnya menghentikan apa yang dia lakukan. Ia mulai merasa seperti budak yang bekerja untuk hal-hal yang tidak benar-benar diinginkan atau butuhkan. Perasaan ini terus berkecamuk dalam dirinya. Ia harus melakukan sesuatu, tetapi belu ada keberanian untuk melakukannya. Hingga akhirnya ia membuat keputusan besar saat berlibur ke Hawaii.
Sepulang dari liburannya, ia menjual tiket lotre seharga USD 134 dengan hadiah utama: rumah mewahnya di Alpine. Ia juga menjual koleksi glider (pesawat terbang ringan), Audi A8, dan perusahaan desain interior yang membuatnya jadi jutawan. Kemudian ia mendirikan yayasan MyMicroCredit, semua uangnya diberikan pada yayasan ini untuk membantu orang di negara-negara dunia ketiga (khususnya Amerika Selatan). Sekarang, bagaimana kehidupan Rabeder setelah kehilangan semua kekayaannya? Ia hanya hidup dengan penghasilan USD 1,350 per bulan. Saat menjadi konglomerat ia tinggal di rumah mewah seluas 321 meter persegi di daerah Telfs Tyrolean. Kini ia hidup dalam kabin kayu 19 meter persegi. Kegiatannya lebih banyak habis sebagai pembicara seminar bertema "Kebahagiaan bisa dipelajari" atau "Cukup uang untuk menjadi bahagia".
Dibalik pengorbanan Karl Rabeder yang begitu besar, terdapat sosok istri yang selalu mendukung tindakannya. Terbiasa hidup dalam kemewahan, tentu begitu hebat sosok wanita pendamping suami yang mau kehilangan segalanya. Selain itu, tentu susah bagi kebanyakan kita di sini untuk menghabiskan semua harta kita atas nama kemanusiaan. Namun, bila semua orang mau membayar pajak, sumbangan, dan zakat sekaligus tersalurkan sebagaimana mestinya, seharusnya kemiskinan bisa diminimalisir dan menjadikan Indonesia lebih baik.... ah, seandainya...
0 komentar:
Posting Komentar